Monday 8 April 2019

Jika Keinginan Itu Bagai Koin Receh

"Keinginan itu seperti koin receh di dalam kantong. Semakin banyak akan semakin berat!"
Bagaimana ekspresi anda saat membaca kalimat itu? Biasa saja? Tersenyumkah? Anggukkan kepala membenarkan? Terdiam sambil mengacuhkan? Atau sepertiku yang riweh, terus mengupas kalimat itu gegara betah berdiam di benakku? Padahal, aku lupa lagi, baca dimana kalimat itu. Haha..

Dua baris kalimat itu, kubagi menjadi tiga simbol. Pertama, Koin receh kuanggap sebagai keinginan-keinginan manusia. Kedua, Kantong sebagai simbol kebutuhan manusia. Ketiga, semakin berat sebagai simbolisasi kapasitas sumber daya manusia pemilik kantong.

Ketiga simbol tadi yang menggiring manusia meraih kebahagiaan hidup atau malah menjebloskan manusia pada penderitaan. Lebay, ya? Hayuk kita simulasikan tiga simbol itu!

Illustrated by.pixabay.com




Perang Dingin Keinginan Versus Kebutuhan



Acapkali, tanpa sadar hingga sukses tercampur dalam pikiran. kita gagap membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Banyak teori menjelaskan ini. Jadi, kusarikan aja biar gampang, ya?

Kebutuhan adalah semua barang ataupun jasa yang menunjang kehidupan manusia. Kebutuhan tidak akan lepas dari kehidupan sehari-sehari. Bersifat mengikat, dampak pemenuhan kebutuhan adalah kebermanfaatan. Ukurannya adalah berfungsi atau tidak.

Sedangkan Keinginan adalah segala kebutuhan lebih terhadap barang ataupun jasa. Dalam artian memenuhi sesuatu hal yang dianggap kurang. bersifat tidak mengikat atau tidak harus, dampak ketersediaan keinginan adalah kepuasan. Ukurannya adalah selera seseorang.

Semisal makan dalam kacamata kebutuhan. Seseorang harus makan apapun bentuk atau jenisnya. Manfaatnya adalah agar tetap hidup. Ukurannya, jika masih hidup, maka makan itu berfungsi. Berbeda dengan Keinginan. Tetap harus makan, namun bisa memilih bentuk atau jenis makanan sesuai dengan selera. Yang melahirkan kepuasan.

Sebagai makhluk sosial, keinginan dan kebutuhan manusia itu beragam. Bukan seragam! Sebab, bisa disigi dari motivasinya berdasarkan definisi diatas tadi. Bisa saja, keinginan seseorang memiliki satu sepeda motor, agar saat pergi bekerja tak lagi lelah berjalan kaki atau menghemat waktu. Bagi tukang ojek, motor adalah kebutuhan agar bisa tetap bekerja untuk menjamin keberlangsungan kehidupan keluarga.

Terus, kenapa ditulis perang dingin? Gegara kita suka terjebak memutuskan antara Keinginan dan Kebutuhan. Atau malah "berubah haluan" di tengah jalan. Sesuatu yang awalnya hanya sebuah keinginan, malah menjadi kebutuhan. Dan sesuatu yang berkategori kebutuhan, dimasukkan kategori keinginan.

Bagiku, tak masalah selagi keinginan atau kebutuhan itu terpenuhi. Toh, syaratnya gampang, kok! Memiliki kemampuan sumber daya atau kapasitas yang mumpuni untuk memenuhi keduanya. Iya, kan?

illustrated by. pixabay.com






Kegagalan Hadirkan Kecurigaan?

Pertanyaan lanjutannya adalah, bagaimana jika Keinginan dan Kebutuhan itu tak dapat dipenuhi atau alami kegagalan? Rasa Kecewa? Atau menyesal? Dalam kelirumologiku, kecewa dan menyesal itu hasil saat keinginan dan kebutuhan tak sesuai harapan. Dan itu manusiawi, kan?

Pasti keren, jika seseorang mampu ikhlas atau bersikap nrimo. Biasanya memiliki kecendrungan untuk intropeksi diri. Melirik setiap cermin untuk mematut diri. Jejangan hal itu, bersebab dari dirinya.

Susahnya, jika tak bisa legowo menerima kenyataan. Bahwa Keinginan atau kebutuhan itu tak dapat terpenuhi. Dan mulai melirik ke ranah eksternal menjadi penyebabnya. Disinilah penyakit curiga kerap hadir.

Dalam kbbi.web.id kata curiga memiliki dua makna. Berhati-hati atau waswas. Bisa juga tak percaya atau sangsi terhadap kebenaran dan kejujuran. Tuh, gawat bin dahsyat, kan?

curiga itu berawal dari hal-hal yang tidak disampaikan secara terbuka; karena di sanalah sumber segala kekacauan. Jean Paul Sartre ,Penulis, filsuf dan Peraih Nobel sastra (1964).
Jika penyakit curiga yang hadir. Apapun  argumentasi yang diajukan, entah itu detail data atau paparan fakta. Semua dilibas dan tak lagi berguna! Karena olah rasa tak lagi disopiri logika.  Tapi rasa curiga akibat Keinginan dan Kebutuhan itu tak terpenuhi.
Rasa curiga, mampu mengubah seseorang tanpa perlu mantra menjadi posesif, paranoid bahkan depresi. Akan hadir saling tuduh. Saling mengejek, pilih-pilih teman, bicara tak lagi paparan fakta. Singpenting, semua salah!
Illustrated by. pixabay.com
Illustrated by. pixabay.com

Menakar Ulang Identitas dan Kapasitas Diri
Jadi? Bisa saja meminimalisir kekeliruan. saat merinci Kebutuhan dan menetapkan Keinginan. Jika keliru mendisain dan menentukan prioritas, antara Kebutuhan dan keinginan. Maka akan berbenturan dengan kekecewaan juga penyesalan.
Pilihan lainnya? Menakar ulang faktor pendukung. Baik secara fisik maupun non fisik, sebelum memutuskan Keinginan dan Kebutuhan itu. Bisa saja berupa potensi sumber daya dari dalam diri atau dari luar diri. Sehingga tak hadir kecurigaan yang menyulut perpecahan. Bukan saja antar interpersonal atau antar personal. Bahkan sebuah bangsa. Parah, kan?
Bakal susah? Bisa jadi. Namun tak ada salahnya untuk saling mengingatkan, tah? Setidaknya, Keinginan itu bukan koin receh yang memberatkan kantong, kan? Hayuk salaman...
Curup, 08.04.2019
zaldychan
[Ditulis untuk Kompasiana]  

No comments:

Post a Comment

Postingan Populer