Tuesday 5 March 2019

Novel Layla: Chapter 1 (Anak Pindahan)




Hari itu adalah awal semester 2 di kelas XI IPA 1, dan wali kelas kami memperkenalkan seorang murid pindahan laki-laki dari kota sebelah. Aku tidak terlalu memperhatikannya, karena kurasa tidak ada yang istimewa darinya. Dan aku pun tidak terlalu tertarik padanya, seorang murid pindah sekolah kan kejadian yang biasa saja. Dia kuperlakukan seperti teman-teman sekelasku lainnya, cukup tahu saja, dan tidak tertarik dengan kehidupan pribadi mereka.



Tapi ada hal yang menggangguku setelah satu minggu, entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, tapi aku merasa dia selalu menatapku setiap saat. Ketika di kelas, beberapa kali aku memergokinya sedang menatapku. Dia duduk di shaf ketiga dan aku pun duduk di shaf ketiga, bedanya aku berada di baris paling ujung kiri, sedangkan dia berada di baris ketiga dari kiri, sehingga dengan mudah dia bisa menatapku jika dia ingin. Dan yang lebih menyebalkan lagi, setiap aku memergokinya, dia seakan tidak malu. Kau tahu kan, ketika kau menatap seseorang dan kemudian orang yang kau tatap secara tidak sengaja menatap balik, kau segera membuang muka karena merasa dipergoki, dan merasa malu. Dia tidak! Justru jadi aku yang membuang muka untuk menghindari kami saling menatap.

Di koridor, ketika kami bertemu, tatapannya tak pernah lepas, walau seringkali dia berikan senyuman, dan aku pun membalas hanya demi kesopanan. Di kantin, ketika kami makan siang, dia selalu duduk di tempat yang sama. Kantin sekolah kami terletak di bawah aula pertemuan, sebuah ruang terbuka yang diisi meja dan kursi, serta stand-stand jajanan di sisi baratnya, dimana kami bisa membeli segala jenis makanan dari yang tradisional seperti bakso, siomay, nasi kuning, sampai yang internasional, seperti burger dan sandwich. Dia selalu duduk di meja ujung tepat di sebelah meja tempat aku dan sahabat-sahabatku sering duduk. Kurasa itu disengaja. Jadi dia duduk di tempat yang sama terus menerus agar dia bisa menatapku. Jujur saja aku merasa risih, tapi aku tidak berani memarahinya atau sekedar bertanya, nanti aku dianggap perempuan yang kege-eran. Setidaknya sampai sahabatku Rani merasakan hal yang sama.

"Han... kamu suka ngerasa gak sih?" tanyanya di kantin suatu siang.

"ngerasa apa ya?"

"ngerasa sering diliatin gitu.."

"maksud kamu?"

"apa sih pertanyaanmu aneh banget" Zahra sahabatku yang lain menimpali.

"eh ini serius ya.... Aku ngerasa kalau hana ini sering banget diliatin sama seseorang." Rani sedikit berbisik.

"yaelah.... Biasa aja kali... dari dulu juga begitu..." kata Zahra santai sambil memasukan bakso ke mulutnya. Sementara aku hanya diam, ternyata ada orang lain yang juga menyadarinya!

"tapi ini berbeda.... Aku rasa dia ngeliatin hana nya kayak psiko gitu... masa hampir setiap aku ngeliat dia, pasti sedang ngeliatin hana..."

"eh serius?" Zahra mulai tertarik.

"iya... di kelas, di lapangan ketika olahraga, di koridor sekolah, bahkan.... Saat ini di kantin." Rani berbisik.

"eh... siapa?" Zahra celingak-celinguk.

"bodoh... ga usah celingak celinguk juga kali.." rani menepuk pundak Zahra.

"hana kamu ngerasa?" Zahra menatapku.

"hm.. sebenernya iya sih, aku ngerasa udah agak lama dan aku ngerasa risih."

"tuh kan... ternyata bener." Rani menimpali.

"ko kamu diem aja sih? Samperin orangnya bilang gak usah liat-liat terus, bikin risih aja" Zahra emosi.

"ya tapi kan itu perasaanku saja, nanti aku dianggap ke ge-eran lagi." Jawabku.

"huh.. dasar, sekarang ada bukti tambahan dari rani, kalau kamu gak berani biar aku saja. Yang mana orangnya?"

"si anak baru itu kan?" tanya rani. Aku mengangguk.

"oh dia... biar aku yang samperin." Zahra bangkit dari duduknya, diikuti aku dan rani.

Seperti yang telah aku ceritakan sebelumnya, ketika kami mendekati dia yang duduk sendiripun, dia memang sedang menatapku. Ketika kami bertiga duduk di depannya, dia melemparkan senyum.

"eh... kamu naksir hana?" Zahra bertanya tanpa basa-basi.

"maaf?" dia terlihat bingung.

"yaelah.. gak usah sok bingung gitu... kami tahu, kamu sering ngeliatin dia kan? Asal tahu aja ya, naksir sih naksir, tapi gak gitu juga kali ngeliatinnya. Hana ngerasa risih kamu liatin terus." Zahra memang orang yang senang to the point, diantara kami bertiga, dia yang paling cerewet dan paling berani.

"oh...." Dia tersenyum. Kami bertiga berpandangan heran.

"jangan Cuma senyum!" Zahra sedikit menaikan suaranya.

"maaf... maaf... siapa di sekolah ini yang tidak suka hana? Satu pandangan saja dapat membuat hati laki-laki manapun meleleh."

"eh... malah gombal, kami gak peduli. Bisa berhenti ngeliatin hana?" Zahra masih menaikan suaranya.

"tentu.. tentu.. jika itu membuatnya merasa tidak nyaman. Tapi biar aku perjelas sesuatu, aku sering menatap, bukan karena aku naksir atau suka."

"lalu maksud kamu apa?" kini aku angkat bicara. Dia menatapku.

"aku melihat tuhan dalam dirimu." Kami semua mengerutkan dahi, omong kosong apa yang dia bicarakan?

"ngomong apa sih... anak aneh... pokoknya jangan bikin hana risih lagi!" Zahra mengancam, lalu kami bertiga meninggalkannya. Aku sempat melirik, dia memberikan senyuman dan memalingkan wajahnya ke arah lain.

Sejak saat itu, aku jarang mendapati dia menatapku, aku tidak tahu apakah dia berhenti menatapku sama sekali, atau dia masih menatapku tapi dalam kuantitas yang tidak membuatku risih. Jujur saja jawabannya saat itu sungguh aneh, terdengar seperti omong kosong, tapi aku kadang memikirkannya.

"Han... kamu diganggu seseorang katanya?" Rangga bertanya padaku suatu siang di koridor setelah jam pelajaran usai.

"apa sih?"

"kamu dibuat risih sama anak baru itu kan?"

"iya.. tapi udah gak lagi kok..."

"dasar sialan, biar aku beri dia pelajaran." Rangga berbalik meninggalkanku.

"eh... Rangga.. kamu mau ngapain?"

Aku berlari mencari rangga, dia kulihat di ujung lorong menuju parkiran sekolah, aku segera menyusulnya. Aku tahu rangga, dia seringkali menyelesaikan permasalahan dengan kekerasan. Itulah kenapa aku menolaknya ketika dia ingin menjadi pacarku. Dia tampan, bintang basket di sekolah, dan banyak murid perempuan yang ingin menjadi pacarnya, tapi dia bisa menjadi kasar ketika keinginannya tidak tepenuhi. Aku tidak suka itu, aku tidak suka pria yang kasar. Lagipula, dia seperti laki-laki lainnya, menganggap wanita sebagai piala.

Yang aku tidak mengerti adalah bagaimana Rangga bisa tahu masalah ini, apakah Zahra atau Rani yang bercerita? Jika iya, kenapa mereka bercerita kepada Rangga? Seharusnya sebagai sahabat mereka tahu kalau aku tidak suka Rangga, terutama tindakannya yang sok jagoan untuk mendapatkan simpatiku. Beberapa bulan yang lalu, Doni anak kelas XI IPA 3 hampir saja dihajar Rangga karena aku didekati olehnya. Toh itu adalah hak Doni untuk suka padaku dan ingin mendekatiku, toh Rangga bukanlah siapa-siapaku. Akhirnya aku menemukan dia berbicara dengan si anak baru di parkiran motor.

"lo ngapain bikin risih cewe gua hah?"

"maksudmu apa?"

"jangan pura-pura bego deh..."

"aku benar-benar tidak paham maksudmu, permisi aku harus pulang.." Rangga mencengkram kerah bajunya dan menariknya. Dia mengepalkan tangannya siap meninju.

"lo songong ya, dasar anak baru!"

"sabar.. sabar... semuanya bisa diselesaikan dengan baik-baik. Oke?"

"baik-baik? Lo udah gangguin cewe gua, lo pengen diselesaikan dengan baik-baik?" rangga meradang.

"Rangga!!" aku berteriak. "kamu apa-apaan sih?!"

"Hana?!" Rangga menoleh "biar aku beri dia pelajaran karena sudah berani bikin kamu risih"

"kamu siapa? Merasa berhak memberinya pelajaran atas namaku?"

"aku... aku mencintaimu Hana."

"kalau kamu memang mencintaiku maka aku minta kamu sekarang juga pergi, tinggalkan dia sendiri!"

"tapi... aku..."

"kalau tidak akan kulaporkan hal ini ke guru!"

Rangga akhirnya menyerah dia menatap si murid baru memberikan ancaman dan pergi meninggalkan tempat parkir. Hanya senyuman yang kulihat dari si murid baru sesaat sebelum aku berbalik dan meninggalkannya juga. Ada banyak pikiran dan perasaan dalam benakku dalam perjalanan pulang. Kenapa aku repot-repot menghentikan rangga? Jika mereka berdua berkelahi pun tidak ada hubungannya denganku. Aku tidak meminta rangga melakukan itu, dia hanya membela egonya, bukan diriku. Lalu si anak baru itu pun hanya akan melawan sebagai bentuk mempertahankan diri, atau mungkin dia babak belur dihajar rangga. Lalu apa peduliku? Aku tidak suka rangga, aku tidak punya perasaan khusus pada si anak baru. Kenapa?

***

"apakah kamu percaya pada takdir?" dia bertanya suatu hari

"entahlah..."

"seberapa besar kuasa seorang manusia atas kehidupannya? Bisakah ia memilih dimana dan di keluarga mana dia dilahirkan? Bukankah itu takdir?"

"hm... tapi manusia bisa memilih dalam hidupnya untuk jadi seperti apa? Ketika seseorang berhasil atau sukses semua bergantung pada usahanya? Dimana takdir berperan disitu?"

"hm... bukankah ada orang yang tetap gagal walau telah berusaha sekeras mungkin? Apa artinya itu?"

"itu artinya usaha dia tidak efektif, sekeras apapun kita berusaha, selalu ada faktor lain yang mempengaruhi hasilnya kan? Misalnya efektifitas"

"bukankah takdir itu termasuk faktor lain?" dia mengerutkan dahinya. "kenapa waktu itu kamu menghentikan Rangga di parkiran motor sekolah. Kamu bilang tidak suka padanya, dan kamu belum menaruh perasaan khusus padaku saat itu, kenapa? Bukankah ada kuasa lain yang menggerakanmu?"

"Aku tidak tahu."



Oleh : Toni Ardiansyah

No comments:

Post a Comment

Postingan Populer