Wednesday, 6 March 2019

Novel Layla - Chapter 2 (Hukuman)



Aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa ketika ayahku berjanji untuk menghabiskan waktu bersamaku di hari ulang tahunku, dia berjanji untuk mengambil cuti satu hari dan aku akan izin untuk tidak masuk sekolah demi menghabiskan waktu bersamanya seharian. Walau ibu bilang hanya bisa meluangkan waktu dari sore hari, aku sudah bahagia tak terkira. Setidaknya aku memiliki mereka lebih lama dari biasanya.



Aku sudah membuat jadwal di hari itu, tentang apa yang akan aku dan ayahku lakukan dari pagi. Kami akan memasak sarapan bersama, setelah itu aku dan ayah akan pergi hiking. Aku ingat dengan jelas ketika masih kecil, ayahku belum sesibuk saat ini, dia suka membawaku kemping. Kami tidur di padang rumput, di bawah langit bertabur bintang, dia bercerita padaku bagaimana dia senang sekali melihat langit malam bertabur bintang dan dia akan menyebut semua jenis rasi bintang dan menunjukaannya padaku.

Itulah kenapa aku dinamai Layla, yang berarti malam. Aku adalah malam yang penuh bintang katanya. Walau kami tidak bisa kemping, setidaknya hiking sudah cukup untukku. Setelah itu di sore hari kami akan bertemu ibu di restoran favorit ayah dan ibu. Dulu mereka sewaktu berpacaran sering datang kesana. Ibu senang dengan masakan tradisional yang disediakan disana, sementara ayah senang dengan konsep restoran di tengah sawah. Jika kita makan malam disana, kita bisa mendengar suara katak, dan hewan-hewan sawah lainnya. Ditambah jika beruntung, kita pun bisa sambil melihat langit malam bertabur bintang. Favorit ayahku.

"kamu harus mengerti layla" ayahku memohon sambil memegang tanganku.

"tapi ayah sudah berjanji, kenapa ayah sekarang bilang tidak bisa?"

"Ini penting bagi perusahaan, jika ayah menundanya, kesempatan emas ini tidak akan datang untuk kedua kalinya."

"aku tidak peduli dengan perusahaan, ayah sudah berbohong!" aku berlari ke kamar dan mengunci pintu. Kudengar ayah mengetuk sambil memanggilku.

"Layla, kamu sudah besar, kamu seharusnya sudah mengerti, semua yang ayah lakukan ini demi kebaikanmu juga."

"aku tidak peduli! Pergi saja sana!"

"ayah janji, setelah urusan ini selesai kita akan hiking bersama, seperti yang kau inginkan." Aku tak menjawab, lalu kudengar langkah ayah menjauh. Aku menangis sejadi-jadinya di dalam kamar, yang ayah lakukan memang demi kebaikanku, menjamin ekonomi penunjang kehidupanku di masa depan, tapi tetap saja, aku ini butuh kasih sayang, aku ingin bersama dengan orang yang paling aku cintai, aku tidak meminta banyak, hanya sehari saja, tidak bisakah dia memberikan sedikit waktu itu? Dia berjanji lain waktu? Asal kau tahu saja, ini bukan pertama kalinya dia mengingkari janji seperti ini. Aku bodoh telah mempercayainya kali ini.

Waktu bersama keluarga adalah hal yang paling membuat aku bahagia, mungkin kau tidak bisa memahamiku jika tidak berada di posisiku ini. Kau yang setiap hari bertemu dengan ibu dan ayah, kau yang sering bertengkar dengan ibu karena dia melarangmu ini itu, kau mungkin tidak akan paham perasaanku. Betapa sakit hatiku saat itu.

Esoknya aku tidak bersemangat sekolah, Zahra dan Rani menyadarinya dan tidak banyak berbicara denganku, mereka tahu aku hanya butuh waktu sendiri. Mereka bilang seakan ada tulisan di jidatku "jangan ajak aku bicara hari ini." Mereka sungguh sahabat terbaikku, tapi mereka pun tak sanggup menahan kebiasaan burukku jika rasa ini mulai menyerang.

"kamu bawakan Zahra?" aku bersikeras.

"ada... tapi gak disini juga kali, nanti sajalah tunggu pulang sekolah."

"aku ga bisa nunggu, mumetnya sekarang... cepet ah..."

"awas ya... jangan ketahuan!" dia merogoh tasnya dan memberikan sesuatu yang segera aku ambil dan masukan ke dalam saku.

"bawel kamu..." aku pergi meninggalkannya di kelas.

Aku memang terkenal murid sempurna di sekolah, cantik, pintar, berprestasi, murid teladan dan kaya. Tapi tak ada yang sempurna di dunia ini, begitu pula aku. Tidak ada yang tahu di sekolah ini kecuali tentunya kedua sahabatku ini, bahwa aku punya kebiasaan merokok. Asal kau tahu saja ya, merokok adalah pelanggaran berat di sekolah ini, aku mengerti kenapa institusi pendidikan pada umumnya mengkategorikan tindakan merokok sebagai pelanggaran berat. Merokok diidentikan dengan tindakan negatif karena selain dapat menjurus ke narkoba, merokok juga adalah tindakan self-destructive, pelan-pelan membunuh diri dengan meracuni diri sendiri. Merokok itu tak ada gunanya, itu kata mereka. Lalu ditambah dengan image negative yang diberikan orang lain pada perokok, khususnya perempuan. Jujur saja, bagaimana reaksimu ketika melihat seorang perempuan merokok? Pasti kau pikir dia perempuan tidak baik kan?

Sungguh mereka tidak tahu, rasa nyaman yang mengendurkan syaraf ketika stress melanda karena merokok adalah sebuah kenikmatan tak terkira. Itulah kenapa aku mulai merokok, berawal dari coba-coba ditawari teman-temanku saat SMP, dengan iming-iming dapat membuat pikiran lebih rileks karena stress belajar. Lalu saat masuk SMA aku bertemu Zahra yang ternyata sudah merokok pula dari SMP. Rani sih, tidak ikut-ikut, tapi dia tak terlalu menghakimi kebiasaan kami ini. Biasanya aku dan Zahra merokok setelah pulang sekolah di kafe favorit kami, ketika waktu ku agak longgar dari kegiatan tambahan setelah sekolah tentunya, dan kami hampir tidak pernah merokok di sekolah. Urusannya bisa ribet jika ketahuan guru BK. Selain pengurangan poin kedisiplinan, orang tua biasanya juga dipanggil ke sekolah. Kau tahu kan apa yang mungkin terjadi jika orang tua sampai dipanggil ke sekolah? Tentu, kau tidak akan perduli jika orang tua mu tidak seperti orang tuanya Zahra dan aku.

Menurut Zahra, spot terbaik merokok di sekolah adalah di taman belakang dekat gudang, disana ada sebuah pohon beringin besar yang cukup menyeramkan, dan jarang sekali ada murid atau guru lewat. Disitu ada rumah kecil penjaga sekolah, dan kalau dia kebetulan memergoki kita, cukup disuap dengan uang, dia pasti tidak akan melapor ke guru. Maka disitulah aku, duduk di balik pohon beringin besar, bolos pelajaran kedua, dan aku sudah titip ke Zahra untuk bilang aku sedang di toilet. Toh Bu Ani tidak pernah serius memperhatikan murid-muridnya apakah mereka ada semua atau tidak, atau murid yang pergi ke toilet tapi tidak kembali lagi.

"Tadi Zahra bilang kau sedang di toilet..." suara seseorang dari belakang mengagetkanku. Aku segera berbalik dan menyembunyikan rokok yang tinggal setengah di balik badannku.

"kau?!" aku terkejut "ngapain di sini?"

"aku mumet dengan pelajaran bu Ani, jadi aku jalan-jalan mencari angin segar..." dia duduk di atas akar beringin.

"sebaiknya kau kembali ke kelas..." kataku.

"kenapa? Kau tidak suka ditemani bolos? Aku tidak akan bilang siapa-siapa kok kalau kita bolos bareng." Dia tersenyum.

"hm.. bukan itu.." aku berpikir mencari alasan untuk mengusirnya.

"boleh aku minta sebatang?"

"eh?" dia tahu!

"tenang... aku tidak akan mengadukanmu... tapi jika kau tidak mau berbagi, mungkin aku akan mengadukanmu.." apa itu? Ancaman? Akhirnya aku mengambil bungkus rokokku dari saku dan memberikan kepadanya.

"kretek... aku suka seleramu..." dia mengambil satu batang, tapi kemudain memasukannya kembali dan dia menyimpan bungkus itu di saku kemejanya. "aku minta yang sedang kau pegang saja."

"eh... kenapa?" aku heran.

"aku sedang tidak mood menghabiskan satu batang, punyamu tinggal setengah kan?"

"aneh..." aku memberikan kretekku yang tinggal setengah. Dia menghisapnya dalam-dalam dan mencoba membentuk lingkaran dengan asap yang dia keluarkan, tapi gagal.

"oh... jadi begini rasanya..."

"begini rasanya? Ini pertama kalinya kau merokok?"

"bukan... ini pertama kalinya aku merasakan ciuman tak langsung..." aku mengerutkan dahi tak mengerti. "ini kan bekas bibirmu.... Jadi secara tidak langsung kita berciuman kan?"

"apa sih.... Dasar gak jelas..." aku tertawa. Dia pun ikut tertawa. Kami tak sadar bahwa ada sosok lain yang sedang berjalan mendekat ke pohon beringin.

"hei apa yang kalian lakukan disana?" aku dan dia berbalik dan ternyata itu adalah Pak Sunardi, guru BK! Aku menoleh padanya, dan dengan bodohnya dia memperlihatkan rokok yang dia pegang, tidak sedikitpun dia coba sembunyikan.

"kalian merokok?" Pak Sunardi berjalan mendekat. Dia kini sudah berdiri di depan kami berdua, jantungku berdetak cepat. Mati aku, kalau sampai ibuku dipanggil ke sekolah, bisa runyam urusan.

"kalian berdua sekarang juga ikut saya ke BK!" bentak pak Sunardi sambil mengambil rokok dari tangannya.

"maaf pak, saya rasa saya saja yang harus ke BK." Aku menoleh padanya, apa yang barusan dia katakan?

"maksud kamu?" pak Sunardi menatapnya.

"yang merokok cuman saya pak, Layla ke sini justru untuk membuat saya masuk kelas lagi, karena membolos. Tapi saya menolak, jadi kami sempat bertengkar sedikit tadi di sini" Dia mengedipkan matanya padaku seakan memberi tanda.

"Kalian berdua bau rokok." Pak Sunardi mengambil bungkus rokok milikku yang kini ada di dalam sakunya.

"ya iya pak, kan dia ada di dekat saya, dia pasti kena asap rokok. Saya tidak ingin karena kebaikan dia untuk peduli pada saya justru membuat dia dalam masalah. Saya mohon pak, dia hanya berada di waktu yang salah bersama orang yang salah."

"hm... betul yang semua dia bilang itu Hana?"

"eh... iya pak betul." Aku tidak berani menatap Pak Sunardi langsung.

"ya sudah, kamu sana masuk kelas lagi, memang sudah sepantasnya sebagai murid teladan kamu peduli dengan teman-teman kamu, khususnya yang seperti ini. Tapi biar bapak yang urus sekarang." aku pun pergi meninggalkan mereka, aku tidak mengerti kenapa Pak sunardi dapat percaya saja kata-katanya dengan mudah, aku hanya bergegas menuju toilet, hatiku berkecamuk.

Apa yang sudah aku lakukan? Merokok di sekolah? Aku memang sedang marah dan stress karena ayah, tapi aku tidak ingin melukai perasaan ibu. Jika saja tadi tidak ada dia, aku mungkin yang harus berurusan dengan Pak Sunardi, dan ibu pasti akan dipanggil ke sekolah. Aku tidak ingin membuat ibu sedih dan kecewa, aku tidak ingin ibu tahu kalau aku suka merokok di saat stress. Ibu pasti tidak suka. Lalu track record sempurna ku di sekolah pasti akan tercoreng, dan ini pasti akan membuat ibu lebih sedih dan kecewa padaku.

Di kelas pikiranku masih belum fokus dan dia belum kembali dari ruang BK, kini ada perasaan bersalah lain muncul dalam hatiku, kenapa aku ikut berbohong dan menimpakan kesalahan itu padanya, dan yang lebih penting lagi, kenapa dia sukarela mendapat masalah hanya demi menyelamatkanku?

Saat istirahat siang aku mendapatinya duduk di kantin sedang makan, aku meminta Zahra dan Rani untuk meninggalkan kami berdua untuk berbincang.

"bagaimana?" tanyaku.

"bagaimana apanya?" jawabnya datar

"masalah yang tadi..."

"oh... berhubung aku masih murid pindahan dan butuh sedikit adaptasi, aku hanya dihukum membersihkan WC di gedung A selama seminggu setiap pulang sekolah."

"aku sungguh minta maaf.... Dan berterima kasih juga"

"sudahlah... lupakan saja." Dia tersenyum.

"aku tidak bisa menghilangkan rasa bersalahku padamu, tanpa melakukan sesuatu. Aku merasa bahwa tidak bertanggungjawab atas kesalahan sendiri itu salah."

"kalau begitu aku minta makan malam."

"hah?"

"traktir aku makan malam... untuk menebus rasa bersalahmu itu."

"makan malam?"

"tidak keberatan kan?"

"tidak..."


Oleh : Toni Ardiansyah

No comments:

Post a Comment

Postingan Populer