Tuesday 5 March 2019

Novel - Prolog 'Layla'


Setiap hal di dunia ini diciptakan berpasangan, jika ada siang, maka malam ada untuk menyempurnakannya. Ada kanan ada kiri, ada hitam ada pula putih.
Betina tidak dapat meneruskan keturunan tanpa jantan. Semua hal di alam ini akan sempurna jika berpasangan. Dan dia akan merasa sempurna hidupnya dengan adanya diriku, begitulah yang dia katakan.

Dia adalah manusia yang paling penuh omong kosong yang kukenal. Dia pernah bilang dunia tempat kita tinggal ini adalah dunia inderawi, kita mempersepsi realita di sekeliling kita dengan dengan panca indera kita. Lalu, di atas dunia inderawi ini adalah dunia ruh, tempat hal-hal yang kita sebut gaib berada. Terdengar seperti omong kosong? Ya begitulah dia. Tapi, jika kau tidak mengenalnya, janganlah berprasangka padanya.

Ini adalah cerita tentangnya, tunggu... bukan benar-benar tentang dirinya, tapi persepsiku tentang dirinya, dirinya yang sejati mungkin tidak bisa kuketahui dengan pasti, ini hanya penafsiranku tentangnya. Sungguh aku telah terpengaruh omong kosong nya, aku mulai berbicara seperti dia.

Sebaiknya kumulai dengan memperkenalkan diriku, sebagai orang yang akan menjadi sumber informasi tentang dirinya, kau tentu harus mengenalku, dengan begitu kau bisa menilai faktor-faktor yang mempengaruhi persepsiku tentang dirinya, dan kau bisa menyimpulkan sendiri di akhir apakah setuju atau tidak dengan ceritaku.

Namaku adalah Hana Layla, kini aku duduk di kelas 12. Dari situ kau bisa menebak umurku kan? Oh... dan aku tidak pernah tinggal kelas, lompat kelas pun tidak pernah. Walau sebenarnya aku mampu, tapi aku memilih untuk tidak melakukannya. Aku ini orang yang pintar, dari sejak SD, aku selalu dapat ranking pertama, nilai-nilaiku selalu diatas 80. Janganlah berprasangka buruk, aku tidak pernah mencontek, itu adalah budaya kaum munafik, mereka bangga dengan hasil yang bukan hasil kerja keras sendiri, aku tidak seperti itu.

Sejak kecil aku adalah anak yang sibuk, mungkin kesibukanku bisa disandingkan dengan para eksekutif di negeri paman sam sana yang bangga men-tweet I have no life.... Dari pagi sampai siang aku sekolah, kemudian dilanjut dengan les piano, berenang, bimbel dan hal-hal lainnya sampai malam, dan itu hampir setiap hari kecuali sabtu dan minggu tentunya, lalu setelah itu aku harus mengerjakan tugas sekolah yang tidak sedikit, maklum.... Ada predikat siswa teladan yang harus aku pertahankan.

Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan mayoritas kegiatan tambahan itu, tapi berhubung hak-hak pribadiku akan dicabut jika tak mengikuti semuanya, aku ikut saja. Ibuku memang seorang visioner, beliau bahkan mampu memprediksi masa depanku akan seperti apa sehingga dia melakukan itu semua. Ah.... Kurasa itu bukan memprediksi, dia bilang ibuku hanya ketakutan dengan apa yang akan terjadi padaku di masa depan, karena masa depan adalah misteri dan manusia takut dengan hal yang tidak dimengertinya. Itu adalah tanda cinta ibu kepadaku katanya.

Kata teman-temanku, aku ini cantik. Berkulit putih, rambut hitam panjang sebahu, hidung tidak pesek, bibir merah merekah, kulit halus seperti sutra, tinggi proporsional, tidak gemuk ataupun kurus. Bahkan seorang temanku yang ternyata naksir denganku bilang, bahwa aku ini mirip aktris luar negeri Alexandra Daddario, hanya minus mata birunya saja.

Dan katanya, jika aku ikut kontes kecantikan seperti miss Indonesia, aku pasti menang. Kalau menurutku sendiri, aku memang cantik sih... hahaha... ada yang bilang bahwa cantik itu relatif dan jelek itu mutlak, artinya standar kecantikan seseorang pasti berbeda dengan yang lainnya, tapi ada yang disebut kecantikan yang umum.

Yakni ketika semua orang yang memiliki standar berbeda itu, sepakat dengan kecantikan itu. Dan aku rasa, aku berada di tingkat itu. Cantik yang umum, hampir tak ada yang menyangkal bahwa aku cantik. Aku sampai bosan dengan pujian orang tentang keindahan fisikku ini, tapi dia memiliki caranya sendiri untuk memuji kecantikanku.

"kamu harus berterima kasih sama si wati" katanya suatu hari.

"wati anak XI IPS 2?"

"iya.... Kalau perlu, setiap hari kamu temui dia dan bilang terima kasih padanya."

"kenapa?"

"hm... karena dia jelek." Jawabnya.

"maksud kamu?"

"kamu datangi dia setiap pagi sambil membawakan gorengan untuk sarapan dan bilang padanya -- terimakasih wati... sudah menjadi jelek."

"dih... kamu ko jahat gitu?"

"bukan jahat.... Masalahnya adalah kecantikanmu jadi dikenali orang karena ada pembandingnya, yaitu jelek... coba bayangkan jika tidak ada yang jelek, apakah kamu akan dikagumi sebagai orang cantik? Dengan adanya orang jelek macam wati, aku jadi bisa mengenali kecantikanmu lalu mengagumimu, dan jatuh cinta padamu... makanya orang jelek seperti wati harus kamu beri penghargaan"

"ih... dasar..." aku mencubitnya gemas.

Menjadi cantik dan berprestasi membuatku populer. Sejak di SMP aku selalu menjadi magnet mata siswa laki-laki, para siswa perempuan berlomba menjadi teman dekatku, bahkan para guru memberikan perhatian lebih terhadapku. yah.... Nasib anak cantik dan pintar memang begitu. Tak sedikit pula orang yang berkata bahwa hidupku ini sangat sempurna, karena selain cantik dan berprestasi, aku juga berasal dari keluarga yang berkecukupan, atau kaya mereka menyebutnya. Hampir semua hal yang diimpikan setiap orang, aku memilikinya.

Lantas, apakah itu semua menjamin bahwa aku bahagia? Tidak selalu. Kebahagiaan adalah keadaan batin. Dan batin tidak bisa kita nilai dari sesuatu yang tampak, dari berapa banyak yang kita miliki, dan dari apa saja yang telah kita capai. Tak banyak yang tahu bahwa aku sering merasa kesepian.

Ayah ibuku adalah manusia karier, tak banyak waktu yang mereka sisihkan untuk bersamaku, mereka seringkali berangkat kerja dari pagi, ketika aku belum sempat membuka mata dan pulang ketika aku telah tidur terlelap. Terkadang tak ada istilah libur dalam kamus mereka, sabtu sama seperti jumat, dan minggu itu sudah senin bagi mereka.

Tapi aku tidak sampai hati membenci mereka karena merasa kurang waktu bersama mereka. Aku tahu mereka bekerja keras demi kebaikanku juga, walau pun aku kurang suka ketika mereka membelikan apapun yang kuinginkan sebagai penebus rasa bersalah mereka karena tidak selalu ada untukku. Aku juga sadar, di luar sana banyak anak kurang beruntung secara ekonomi. Jika aku mengeluh atas keadaanku ini, mereka pasti akan kompak mengutukku karena tidak bersyukur.

Teman-teman bisa saja jadi oase atas haus kasih sayang ini. Tapi aku merasa mereka palsu, teman laki-laki tidak benar-benar tulus ingin menjadi sahabat, umumnya mereka kagum pada kecantikanku dan ingin memilikiku, menjadikanku semacam piala tanda keberhasilan ego kelaki-lakian mereka.

Jika kau bisa berpacaran dengan Hana, maka kau akan dihormati dan disanjung oleh laki-laki lain. Teman perempuan pun setali tiga uang, motif mereka sama saja, prestis. Atau justru lebih banyak yang sebenarnya dalam hati mereka iri dan benci terhadapku, mereka menginginkan apa yang kumiliki.

Mungkin hanya sahabat yang bisa jadi penghiburku, pelipur lara dari rasa kesepian yang kurasakan. Bersama mereka aku merasakan kasih sayang keluarga yang jarang kudapat. Aku hanya punya dua orang yang kuanggap sahabat selama ini. Tapi ketika kami berpisah dan pulang ke rumah masing-masing, rasa kesepian itu kembali datang. Rasa kosong itu tidak pernah benar-benar hilang. Untuk sesaat aku merasa dialah yang mampu mengisi kekosongan itu, tapi sampai kapan?

No comments:

Post a Comment

Postingan Populer