Thursday 7 March 2019

Novel Layla: Chapter 3 (Makan Malam)



Akhir pekan itu aku memenuhi permintaannya sebagai penebus rasa bersalahku dan sekaligus membalas budi. Dia meminta aku menemuinya di mall daerah selatan kota, yang terkenal dengan perumahan elit penduduk kota ini.
Janji bertemu disuatu tempat tidaklah merepotkan karena kita bisa saling komunikasi lewat smartphone, tapi tahukah kau? Ternyata dia tidak punya Smartphone! Dia adalah satu-satunya makhluk remaja di dunia ini yang tidak punya smartphone! Aku tidakmengerti bagaimana dia bisa hidup selama ini tanpa telpon pintar.

Alhasil,aku menunggu dengan perasaan tidak menentu, di tempat di mana dia memintaku untuk menunggu. Seperti inikah janjian di zaman ketika smartphone belum ditemukan? Sungguh ada perasaan tidak nyaman, ketika aku tidak tahu, apakah dias udah berangkat atau belum, bagaimana jika terjadi sesuatu dan dia tidak jadi datang? Bagaimana dia akan memberitahuku? Artinya aku harus menunggu lama untuk yakin bahwa dia tidak akan datang? Untung dia segera muncul tak lama setelah aku sampai.

Dia ingin makan sushi katanya. Aku tahu di mall ini ada satu gerai sushi yang cukup terkenal, dan enak. Aku, Zahra dan Rani pun pernah beberapa kali makan di tempat itu. Tapi ternyata, bukan menu dan rasanya yang dia sukai dari tempat itu, tapi suasana. Yah, harus kuakui, desain cahaya di tempat itu mampu membuat orang duduk berjam-jam sambil mengobrol, sungguh nyaman dan romantis.

"aku sekali lagi minta maaf... karena kebodohanku kau jadi harus membersihkan WC selama seminggu."

"kenapa kau membahas itu lagi?"

"ya...aku hanya merasa bersalah padamu."

"lain kali ketika kau merasa stress, sebaiknya kau lakukan hal lain selain merokok."

"kau tahu aku sedang stress saat itu?"

"ya...seakan tertulis di wajahmu. Kau ini cukup ekspresif."

"lalu apa yang harus aku lakukan menurutmu?"

"hm... kau tahu, aku bersyukur menghampirimu kemarin. Aku tidak menyesal menutupi kesalahanmu."

"kenapa? Kau kan jadi dihukum, seharusnya kau menyesal kan?"

"coba berpikir seperti ini, jika aku tidak menghampirimu saat itu, jika aku tidak menutupi kesalahanmu. Mungkin aku tidak akan bisa makan malam bersama murid terpopuler di sekolah kan? Hal buruk bisa saja memberikan karunia."

"hooo...aku tak pernah terpikirkan hal semacam itu. Tapi, aku jadi berpikir, jangan-jangan semua itu sudah kau atur agar bisa makan malam bersamaku?"

"ah...kau pikir aku secerdas itu? Kau terlalu tinggi menilai diriku." aku hanya tersenyum. "tapi setelah dipikir-pikir, aku menyesal memberi saran kepadamu,lebih baik kau lampiaskan rasa stressmu dengan merokok saja deh, kalau perlu di sekolah lagi." Lanjutnya.

"eh...kenapa?"

"supaya aku bisa menyelamatkanmu lagi, dan bisa minta ditraktir makan malam lagi." Dia tersenyum lebar.

"dih....Apaan sih," aku tertawa, "btw, kenapa kau menutupi kesalahanku kemarin?"

"karena aku jatuh cinta padamu." Dia menatapku serius.

"apa?Bukankah kau bilang seminggu lalu kau tidak naksir dan tidak suka padaku?"

"ya..itu minggu lalu, tapi sekarang berbeda."

"oh...tapi tolong jangan salah mengerti, aku tidak sedang ingin berpacaran, dan aku setuju makan malam denganmu ini bukan lampu hijau untuk perasaanmu ya, aku hanya tidak ingin berhutang budi padamu." Aku tidak ingin memberikannya harapan palsu, karena aku memang tidak sedang ingin berpacaran.

"tentu, lagipula, aku tidak bilang ingin jadi pacarmu kan? Aku hanya bilang aku jatuh cinta padamu."

"bukankah itu hal yang sama?"

"tidak bagiku." Pesanan kami datang, selama beberapa menit tidak ada kata terucap di antara kami, dia sepertinya sibuk dengan makanannya, dan aku pun sibuk memikirkan kata-katanya barusan.

"aku penasaran dengan apa yang kau ucapkan di kantin saat itu." Aku memecah kebekuan di antara kami, tidak nyaman rasanya hanya diam saja.

"yang mana?"

"soal melihat Tuhan dalam diriku."

"oh...kau percaya Tuhan?"

"entahlah...keluargaku bukan keluarga yang relijius. Aku hanya mengenal tuhan dari pelajaran agama di sekolah. Itupun aku belajar hanya untuk dapat nilai bagus saja, tidak enak rasanya ada angka jelek di rapot. Lalu apakah aku mempercayai-Nya? Aku tidak tahu."

"kalau begitu, tidak ada gunanya aku jelaskan, toh kau tidak percaya Tuhan."

"aku bukan tidak percaya, tapi belum menentukan sikap. Benar-benar tidak ada yangperlu dijelaskan?"

"hm...baiklah... apa yang aku percayai adalah bahwa alam ini, termasuk manusia merupakan manifestasi Tuhan itu sendiri, dan kecantikanmu adalah salah satu wujud dari nama-Nya yang Dia berikan pada manusia, Maha Indah. Oleh karena itu aku senang memandangimu, secara tidak langsung, seakan aku sedang memandangi-Nya." Aku mengerutkan dahi mendengar penjelasannya.

"berapa umurmu? Kau bicara seperti orang tua saja. Kau tahu siapa yang senang bicara tentang Tuhan di keluargaku? Kakekku, kau bicara seperti dirinya." Dia tersenyum.

"Saat waktunya hampir tiba, semua manusia mencari Tuhan."

"apa?"

"sudah lupakan saja."

Aku pulang diantar olehnya, dia ingin berlaku sopan dan bertemu dengan orang tuaku katanya. Aku sih tidak keberatan, toh aku tak yakin ayah atau ibuku sudah pulang ketika aku kembali. Selama menyetir dia banyak diam dan sesekali bertanya tentang jalan, dia bilang dulu dia pernah tinggal di kota ini dan pindah ke kota lain, kini dia harus pindah lagi ke sini karena suatu alasan, yang tidak dia ingin bahas. Aku pun tidak terlalu tertarik, kurasa karena aku merasa sangat mengantuk.

Sungguh suatu keajaiban bahwa kedua orang tuaku ada di rumah ketika kami sampai di rumahku. Dia aku persilahkan masuk dan kuajak menemui kedua orang tuaku yang sedang makan malam, ayah dan ibu tampak agak kaget aku membawa teman laki-laki ke rumah. Mereka hanya kenal Zahra dan Rani saja. Dulu pun mereka tidak kenal dengan pacar-pacarku, soalnya tidak aku kenalkan juga sih.

"Siapa ini? ayo ikut makan bersama" ibuku menyambut.

"ini temen Hana ma, kami abis makan tadi." Dia mencium tangan ibu dan memperkenalkan diri.

"makan berdua?" ayah menimpali.

"iya"aku menjawab ketus.

"Hana...jangan begitu sama ayah..." ibu menasihatiku.

"udahya... hana mau ke kamar, cape." Aku segera berjalan menuju tangga. Jujur aku malas bertemu ayah, karena kemarahanku belum mereda.

"hana...ini temennya ditinggal? Kamu gak sopan." Ujar ayah.

"bodoah... cape..." aku berteriak dari lantai 2 rumahku.

"sudah ayah... biar hana tenang dulu aja, dia masih marah kan sama kamu..." sayup-sayup kudengar ibu berkata pada ayah. Aku segera masuk kamar dan membaringkan tubuhku, tak lama aku pun terlelap.



***

"aku gak rela kalau kamu terus merokok." Katanya suatu hari.

"kenapa? Kamu sendiri bilang bahwa merokok pada dasarnya tidak baik atau buruk, tergantung situasi."

"bukan karena ini baik atau buruk."

"lalu?"

"akupernah baca di internet, kalau terlalu sering merokok dapat membuat bibir kita menghitam, gigi menguning, membuat kulit keriput, dan membuat kita terlihat tua. Aku hanya tidak bisa membayangkan, tidak bisa melihat keindahan senyum bibir merah merekah dan barisan gigi putih itu lagi." Aku merasa aneh, sejak kapan dia percaya apa-apa yang dia baca di internet. Tumben pendapatnya sama dengan kebanyakan orang.

"itu artinya kamu tidak menerima aku apa adanya, kamu tidak benar-benar mencintaiku."

"justru karena aku mencintaimu, aku tidak ingin kamu merusak karunia yang Tuhan berikan padamu. Tidak semua perempuan diberikan kecantikan seperti dirimu Layla."

"jika aku menua, toh kecantikan ini akan pudar kan?"

"menua alami dengan merusak diri itu berbeda kan?" mata kami saling beradu selama beberapa saat. Aku tahu dia tidak akan membuat permintaan ini tanpa sebab, apakah yang menjadi alasannya?

"apakah ini permintaan ibu? Dia sudah tahu? Kapan dia bilang itu? Waktu terakhir ke sini?" dia hanya tersenyum.

"berbuat baik pada orang tua adalah hal yang sangat baik Layla, mungkin dengan kamu berhenti, orang tuamu bisa sedikit lega dan beban mereka sedikit berkurang."Dia melanjutkan.

"ya... kamu benar."

Oleh : Toni Ardiansyah

No comments:

Post a Comment

Postingan Populer