Monday, 11 March 2019

Novel Layla: Chapter 6 (Reuni)



Namanya adalah Santi, seperti tertulis di dadanya, seorang gadis tinggi semampai berambut panjang yang dikuncir, kulitnya kuning langsat dan matanya agak sipit, dia memakai kacamata berframe metal yang berwarna pink, aku tahu itu adalah kacamata merek Laura Ashley dari motif floral di framenya.


Bibirnya yang merah muda menyunggingkan senyum, matanya menatap girang, lalu berjalan mendekati kami, setelah sebelumnya berteriak memanggil dia yang sedang duduk disampingku. Aku mencoba melihat badge sekolah di lengan seragamnya, disitu tertulis nama sebuah sekolah di Kota Bogor, bukankah dia ini murid pindahan dari Bogor? Apakah gadis ini teman lamanya?

"Hei... lama tak jumpa." Santi mengulurkan tangannya.

"hei... kamu ikut lomba juga?" dia memegang tangan santi, berjabat tangan.

"ya... seperti itulah, karena kamu pindah, aku jadi kepilih deh buat ikut lomba." Santi tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya padaku, dan berkata "temanmu? Hai kenalkan, aku Santi." Dia mengulurkan tangannya padaku sekarang.

"Hana..." aku menjabat tangannya.

"kalian satu tim?" tanyanya.

"iya... begitulah..." jawabku.

"wah... kalau kita nanti ketemu, aku gak yakin bisa menang nih, dia kan orangnya pandai berdebat." Santi menunjuk dirinya, dia hanya tersenyum dan mengedipkan mata.

"kalau begitu, semoga kita tidak ketemu ya..." jawabnya.

"iya... semoga kamu kalah sebelum bertemu timku," dia tertawa. "eh... kata anak-anak, kamu sulit dihubungi, sombong sekali, ganti nomer ko gak bilang-bilang..."

"oh... anu... sekarang aku gak punya hape..." jawabnya cengengesan.

"OMG... kenapa? Rusak atau hilang? Kalau gitu pake punyaku dulu nih..." dia menyodorkan Iphone 6 miliknya dengan case bermotif bunga. "aku masih ada yang lain di rumah, nanti kalau sudah punya, baru kamu balikin."

"ga usah... ngerepotin aja..." dia menolak.

"yah... trus, kalau kita mau ngontak gimana?" Santi tampak kecewa.

"kamu save aja nomerku, nanti kalau ada apa-apa hubungi aku, biar kusampaikan padanya." Aku menawarkan diri, dia melirikku heran.

"hm... boleh deh..." kata Santi. Setelah menyimpan nomorku, Santi pamit kembali ke timnya, karena mereka akan bertanding sebentar lagi.

"Teman di sekolah dulu?" tanyaku padanya.

"iya... teman sekelas, dia paling pintar, tapi tetep kalau bahasa Inggris aku yang paling jago." Katanya menyombongkan diri.

"oh... peduli banget sama kamu kayaknya, sampe mau minjemin hape, iphone lagi...."

"kenapa emangnya? Kamu cemburu?" aku melotot dan segera mencubit perutnya, dia meringis kesakitan. Tak lama kemudian Mr. Anwar pembimbing kami memanggil dan memberikan motion untuk pertandingan kami berikutnya.

Saat itu kami sedang berpartisipasi dalam lomba debat Bahasa Inggris antar SMA se-Jabodetabek, aku dan dia terpilih untuk ikut seleksi atas rekomendasi Mr. Anwar, kurasa beliau terpukau dengan hasil tugas esai dan presentasi kami beberapa waktu lalu. Dari sekitar 16 orang yang diseleksi pihak sekolah, terpilihlah dua tim beranggotakan tiga orang per timnya. Anggota tim A adalah aku, dia dan Hani anak kelas X.

Tim B saat ini sedang bertanding, dan kami tenggelam dalam diskusi tentang motion pertandingan kami. Hari ini adalah babak penyisihan dimana 26 tim yang terdaftar akan diseleksi dengan sistem nilai, dan diambil 8 besar teratas untuk masuk babak semifinal.

Penyisihan lomba debat bahasa Inggris antar SMA se-Jabodetabek telah selesai, tim kami lolos, sementara tim Santi gugur. Semifinal dan final akan dilaksanakan dua hari kemudian, tapi itu berarti Santi dan kami tidak akan bertemu lagi.

Sebelum pulang, Santi kembali menemui kami dan berpesan bahwa sekolahnya akan mengadakan pentas seni dalam waktu dekat, Santi berharap dia bisa datang, untuk silaturahmi dengan teman lama dan meramaikan acara. Tanggal dan informasi lebih lanjut akan dikirim ke nomorku nanti, kata Santi.

Selama perjalanan pulang, aku terus memikirkan bagaimana pedulinya Santi pada dirinya, jauh di lubuk hati aku cemburu melihat ada perempuan lain yang suka padanya. Lalu, akupun merasa penasaran dengan masa lalunya di sekolah yang lama, bagaimana dia orangnya dulu di sana? Apakah sama seperti ini atau berbeda? Apakah ada perempuan lain yang suka dengannya selain Santi? Apakah dia pernah punya pacar? Kenapa dia pindah?

Dulu saat dia membicarakan itu setelah makan malam, aku tidak terlalu tertarik, jadi tidak terlalu peduli. Sekarang aku jadi sangat ingin tahu, tapi belum berani saja menanyakannya.

Sekitar dua minggu kemudian pesan dari Santi tiba, dia mengirimkan foto poster acara pentas seni tersebut, dan mengundangnya serta diriku untuk datang. Yang terakhir sih aku tahu basa-basi, masa pengantar pesannya gak diundang kan? Santi juga menekankan bahwa teman-teman bandnya dulu akan tampil, jadi mereka butuh support dari mantan personil. Itu sih bisa-bisanya Santi saja untuk menambah alasan baginya supaya datang. Bagaimanapun, aku tetap menyampaikan pesan itu padanya.

"nih lihat..." aku memperlihatkan pesan Santi untuknya di layar hapeku. Dia membacanya sekilas lalu menaruh kembali hapeku di meja kantin.

"wow... kamu dulu ngeband? Gak keliatan ya" tanya Zahra.

"kan gak harus diliat-liatin juga kali." Jawabnya.

"iya sih... posisi kamu apa?" tambah Zahra.

"aku gitar sama vokal..."

"serius? Emang bagus ya suara kamu?" Zahra tidak percaya.

"kamu belum pernah denger dia nyanyi sih..." timpal Rani.

"Loh... emang kamu pernah? Kapan?"

"itu loh waktu long weekend sebulan lalu, aku ngajak ke rumah untuk bikin barbeque party gitu, eh kamunya lagi pergi sama pacarmu..." jawabku.

"oh... pas itu..." Zahra mengangguk-angguk.

"suara dia sama John legend itu mirip-mirip tau... lembut-lembut gimana gitu..." tambah Rani.

"oh ya? Coba dong nyanyi sekarang." Pinta Zahra.

"jangan ah... nanti kamu suka lagi." katanya.

"dih... pede amat." Kata Zahra disambut tawanya.

"jadi kamu datang gak?" aku sudah tak sabar ingin mendengar keputusannya.

"entahlah... aku tidak bersemangat..." jawabnya. Aku sudah merasa dia akan mengatakan itu, tapi aku ingin dia datang dan mengajakakku, aku ingin tahu sepotong kehidupannya di masa lalu.

"katanya silaturahmi itu baik... ko kamu ga konsisten sama kata-katamu sendiri." aku mencibirnya.

"maksudku aku gak semangat kalau harus pergi sendiri..." lanjutnya, seakan telah membaca benakku, aku senang bukan kepalang.

"jangan ajak aku...." Zahra berkata spontan, "aku sibuk...." Dia tertawa, Zahra memang begitu, suka tertawa gak jelas.

"aku bisa aja sih menamani kalau diajak..." jawabku sok jual mahal.

"loh... kamu kan diundang Santi juga.. gak perlu aku ajak dong, ingat... silaturahmi itu baik, terus... kalau diundang ya harus datang, begitu adabnya..." dia tersenyum, aku kesal sekali dengan kata-katanya barusan, "Rani kamu mau ikut gak?" aku sekarang tambah kesal karena dia malah mengajak Rani, kenapa tidak hanya berdua saja sih.

"pengen sih sebenernya, tapi tanggal segitu ada urusan keluarga yang gak bisa ditinggal.." jawabnya sambil manyun, tanda kecewa. Aku bersorak riang dalam hati.

Sore itu aku dan dia berangkat dari rumahku menggunakan mobil milik ibu, mini cooper hitam. Di sepanjang perjalanan, aku banyak bertanya tentang teman-temannya, bandnya, dan terutama Santi, tapi dia tidak antusias menjawabku. Dia seringkali mengalihkan pembicaraan. Dia malah bercerita tempat-tempat favoritnya di kota hujan ini, bagaimana kebun raya bogor memberikannya ketakjuban luar biasa, atau beberapa taman kota yang katanya indah di malam hari, dia berjanji akan mengajaknya ke salah satu taman tersebut. Bagaimanapun, aku tetap senang, kini aku tahu lebih banyak tentang dirinya. Kami sampai di Venue pensi yaitu sekolahnya yang lama sekitar magrib, acara baru akan dimulai pada pukul 7 malam. Santi menyambut kami dan mengajak ke tempat terbaik untuk menonton acara.

Aku melihat sebuah panggung dengan tinggi sekitar satu setengah meter di ujung lapangan sekolahnya yang besar, dan backdrop yang besar di bagian belakangnya menampilkan foto band ibu kota yang menjadi bintang tamu. Lalu di depan panggung banyak kursi dan meja kayu tertata rapi. Di setiap meja ada lilin dan bunga, dan nomor. Santi bilang itu bagian VIP, jadi siswa yang ingin menonton sambil duduk-duduk di kursi dan menyantap kudapan harus membayar lebih. Yang tidak mau atau mampu bayar lebih ya bisa melihat dari gedung lantai dua berbentuk U yang mengelilingi panggung. Santi rupanya sudah menyiapkan meja no 10 untuk kami, sementara di pinggir lapangan, banyak stand makanan dan minuman yang bisa kami pesan. Santi meninggalkan kami karena sebagai panitia, dia harus stand by di belakang panggung katanya. Beberapa saat sebelum acara dimulai ada 4 siswa laki-laki yang mendekati kami, mereka adalah teman-teman bandnya dulu.

"kenalkan ini Burhan...." Dia berkata padaku. Burhan tubuhnya pendek dan gempal, serta rambutnya ikal. Kulitnya gelap, dan pipinya itu bulat seperti bakpao. Dia nyengir menjulurkan tangannya padaku. Aku menjabat tangannya sambil memperkenalkan diri. Burhan ini posisinya pemain drum di band, katanya menjelaskan.

"edan.... Pacar kamu cantik banget... sampai kontras begini tanganku sama tangan dia...." Burhan memujiku, yang lain tertawa.

"Cuma temen kok...." Jawabnya.

"masa...? Neng kalau dia gak mau, Aa mau loh jadi pacar eneng..." kali ini laki-laki berambut cepak berbadan tegap seperti tentara yang bicara, namanya adalah Jeje, nama aslinya sih Jujun Junaedi, Cuma biar keren dia dipanggilnya Jeje. Penampilan militernya ini adalah pengaruh keluarganya yang sudah turun temurun di militer, dia menjelaskan. Jeje ini basis andalan band mereka, kalau sudah main bass, dia kayak cacing kepanasan, gak bisa diem, mirip-mirip Flea basisnya Red Hot Chilli Pepper.

"halo neng cantik...." kali ini temannya yang berbadan cungkring dan tinggi menyapa. Namanya adalah Satria, orangnya berkacamata, pipinya tirus. Dia adalah gitaris, tapi kata teman-temannya, dia tidak cocok jadi gitaris, bukan karena skillnya jelek, tapi karena tampangnya yang tidak mendukung. Dia lebih mirip korban kelaparan Etiopia karena badannya yang kurus sekali.

Dulu kata mereka, ibu Satria terlalu banyak memberinya minum obat cacing, sehingga cacing-cacing di tubuhnya justru jadi kebal terhadap obat itu. Walhasil, kini tubuhnya kurus digerogoti cacing yang tak bisa diusir, dia divonis cacingan seumur hidup, aku tertawa mendengarnya. Tentu itu hanya bisa-bisanya mereka saja menggoda Satria. "bapak kamu koruptor ya?" dia lanjut bertanya.

"eh..." aku bingung. Sementara itu, teman-temannya dan dirinya malah tertawa.

"kamu jawab aja -- iya kenapa?" bisiknya.

"hm... iya kenapa emangnya?" aku tak mengerti dengan apa yang terjadi, sementera teman-temannya seperti menahan tawa menunggu sesuatu.

"soalnya kamu telah mengkorupsi hatiku." Jawabnya disambut gelak tawa teman-temannya. Aku tidak mengerti apa yang lucu dari kata-kata itu.

"asli.. jayus banget..." Burhan berkomentar.

"dia mah emang begitu neng, jayus...." Kata Jeje. Oh, kini aku mengerti apa yang terjadi. Mereka bukan tertawa karena lucu, tapi karena tidak lucu, jayus.

"kalau yang ini personil baru kita, pengganti si ontohod yang pindah sekolah ini." Jeje menunjuk dirinya. Dia hanya tersenyum.

"hai aku Bayu, vokal sekaligus gitar." Diantara ketiga temannya yang lain, bayu yang paling tampan, rambutnya disisir rapi ke belakang, dan bercahaya karena minyak rambut. Pakaiannya, walau senada dengan anggota band lain, tetap yang paling modis. Vokalis memang harus begitu, mereka kan wajah sebuah band. "Kamu gak sakit?" Bayu bertanya.

"sakit apa?" aku bingung.

"kamu kan habis jatuh dari surga, pasti kan sakit..." lanjut Bayu yang disambut tawa teman-teman yang lain. Aku hanya tersenyum, keadaan begini sih sering aku alami.

"genre musik kalian apa?" aku bertanya.

"dulu waktu masih ada dia..." jawab satria. "kita ini gado-gado."

"gado-gado?"

"iya segala macam musik kita mainin, kadang kita bikin mash-up. Kita bisa main pop, rock, metal, bahkan dangdut." Lanjut Satria.

"ho... keren, kalau sekarang?"

"masih sama sih...." Kata Burhan, disambut tawa teman-temannya.

Setelah beberapa saat mereka pun pamit karena harus berisap-siap di belakang panggung, mereka harus tampil kedua. Aku menikmati penampilan band teman-temannya, mereka membawakan dua buah lagu, satu lagunya Letto yaitu Sebelum Cahaya, dan satunya lagu Avenged Sevenfold yang berjudul So Far Away.

Lagu kedua tersebut seakan dipersembahkan untuk anggota band mereka yang telah mengundurkan diri, aku melihat wajahnya ketika lagu itu dinyanyikan, kumenangkap kesedihan di matanya.

Aku rasa petikan gitar listrik di bagian melodi lagu tersebut membuat hatinya bergetar, air mata mengalir di pipinya, lalu sesaat setelah lagu usai, dia beranjak meninggalkan meja, aku segera mengikutinya.

Dia berdiri menyandarkan punggungnya di mobil, kepalanya mendongak ke langit, air mata masih bergumul di ujung matanya. Langit malam itu begitu cerah, bertabur bintang, serpertinya setiap aku menghabiskan malam bersamanya, langit selalu saja cerah.

Aku memegang pundaknya, dia menoleh, mengusap air mata yang tersisa, lalu tersenyum. Aku bertanya ada apa, dia hanya menggeleng dan mengajakku pulang, aku mengangguk.

Kurasa jika dia belum mau bercerita, aku tidak ingin memaksa. Dia memintaku menunggu di tempat itu, sementara dia akan berpamitan pada teman-temannya. Dari parkiran aku dapat melihatnya berpelukan dengan teman-temannya tadi, seolah itu adalah hari terakhir mereka bertemu.

Sesaat sebelum masuk ke mobil, Santi berlari kecil ke arah kami.

"Hei... kamu sudah mau pulang?" dia terengah-engah.

"iya... maaf tidak bisa lama-lama." Jawabnya.

"ini... aku ingin kamu memiliki ini," Santi menyerahkan sebuah box kecil terbungkus kertas kado berwarna hijau toska bergambar beruang dan pola-pola aneh.

"apa ini?"

"itu pengingat agar kamu tidak lupa dengan kami, dan kami selalu ada untukmu." Katanya tersenyum manis. Aku menatap kesal dari dalam mobil. Sesaat kemudian, aku melihat seorang laki-laki berbadan besar berjalan dari belakang Santi mendekatinya.

"Sayang... Kamu masih mengobrol saja sama dia...." Laki-laki tersebut menarik tangan Santi.

"Reno... kamu apa-apaan sih." Santi menepis tangannya, tapi cengkraman Reno tampak lebih kuat dari tenaga Santi.

"Ren... kamu jangan begitu." Dia mencoba menghentikan laki-laki yang dipanggil Reno.

"Eh... lo gak usah deket-deket gua ya!" Reno membentak dan menunjuknya.

"Reno!!!" kini Santi yang membentak.

"apa? Dia tuh gak pantes datang ke sini, siapa sih yang ngundang dia..." Reno balik membentak. Kini darahku mendidih, aku tak tahu masalah apa yang terjadi antara dia dan Reno, tapi aku tidak suka dia dilecehkan begitu. Kenapa dia diam saja? Aku segera keluar dari mobil dan berteriak.

"eh... lo siapa sok ngelarang-larang?!" dia, Reno dan Santi terkejut dengan teriakanku.

"lo yang siapa?!" Reno tak mau kalah.

"gue pacarnya! Kenapa?!" aku jawab spontan.

"dasar najis.... Mau-maunya lo jadi pacar dia!"

"ngomong sembarangan ya!" aku benar-benar murka, aku berjalan mendekatinya dan hendak menampar mulut Reno yang kurang ajar itu, tapi dia segera memegang tanganku dan menarikku masuk ke mobil, tanpa bicara apa-apa lagi, dia segera menyalakan mobil dan pergi dari situ.

Di dalam mobil dia terus menenangkanku, dan bilang untuk melupakan semua kejadian itu. Reno dan dia memang tidak akur sejak dulu, masalah cinta. Reno suka Santi, tapi Santi lebih suka padanya. Dia membuatku berjanji untuk melupakan semua kejadian itu, aku mengangguk.

Lalu, sesuai janjinya, dia mengajakku ke salah satu taman favoritnya, Sempur namanya, tapi kurasa itu bukan taman, lebih seperti lapangan alun-alun. Kami duduk di bangku kayu di pinggir lapangan melingkar, penataan cahaya di tempat tersebut membuat banyak pasangan seperti kami betah berlama-lama duduk di sana. Tak jauh dari situ aku pun melihat satpol pp dan beberapa polisi berjalan-jalan, mungkin mereka berpatroli menjaga agar tidak ada hal-hal yang tidak baik terjadi.

"tadi kamu kenapa menangis?"

"gapapa... sedih aja, harus pindah." Jawabnya.

"hm... btw kamu itu pindah kenapa ya?"

"itu belum bisa aku ceritain, gapapa kan?"

"oh... oke."

"maaf soal Reno tadi..."

"iya... gapapa, aku janji untuk melupakannya ko.."

"aku senang, dan aku juga minta maaf ya kalau teman-teman menggodamu tadi.."

"oh... biasa aja kali," aku membetulkan posisi dudukku, "kamu gimana pas aku digodain tadi?" aku menatapnya.

"maksud kamu?" dia juga menatapku, kami berpandangan.

"itu loh... kamu kan suka padaku, terus kalau orang yang kamu suka digoda atau dipuji sama orang lain, perasaan kamu gimana?" aku mencoba lari dari tatapan matanya dengan mengalihkan wajahku.

"oh... ya biasa aja."

"ko biasa aja? Gak cemburu atau kesal gitu?"

"mereka kan mengagumi kecantikanmu Layla," dia berhenti sejenak. "ketika seorang manusia mengagumi kecantikan manusia lain, pada hakikatnya mereka sedang mengagumi-Nya. Kecantikanmu adalah bukti keagungan-Nya, masa aku harus berperasaan negatif pada mereka yang sedang takjub oleh-Nya." Dia tersenyum memandangku, aku pun membalas senyumnya.

"kamu selalu punya sudut pandang menarik tentang setiap hal ya." Mata kami saling menatap cukup lama, aku menikmati tatapannya yang meneduhkan, demi Tuhan aku benar-benar rela jika saat itu dia menyempurnakan bibirku ini dengan bibirnya, aku ingin membenamkan wajahku ini ke wajahnya, menghirup nafasnya, sambil memeluk tubuhnya erat. Tapi dia justru menjauhkan wajahnya dariku, membuatku kecewa.

"kenapa?" tanyaku pelan.

"aku mencintaimu, bukan bernafsu padamu Layla," darahku berdesir, aku sungguh telah jatuh cinta.

Oleh : Toni Ardiansyah

No comments:

Post a Comment

Postingan Populer